Agama, Fanatisme, dan Akal Sehat
Banyak orang mengklaim bahwa agamanya adalah yang paling benar. Hal ini sebenarnya tidak masalah bagi saya. Yang menjadi masalah adalah ketika orang-orang tersebut menilai agama lain dengan kacamata yang sempit, dengan standar dan ukuran agamanya sendiri—lalu menghakimi agama lain sebagai sesuatu yang salah. Kondisi seperti ini membuat saya prihatin. Agama, yang seharusnya menjadi jalan menuju kebenaran dan kebaikan, malah sering digunakan sebagai alat untuk berkompetisi: agama siapa yang dianggap paling benar. Saya mencoba menganalogikan agama sebagai kendaraan, seperti bus yang membawa kita menuju tujuan tertentu—katakanlah Surga. Misalnya, Surga kita anggap berada di Pulau Bali. Kita semua berangkat dari daerah yang berbeda, tetapi tujuan akhirnya tetap sama: Pulau Bali (Surga). Di dalam bus, ada penumpang, yaitu kita sebagai umat beragama, dan ada kru bus, yang saya analogikan sebagai pemuka agama. Tuhan adalah seperti tuan rumah yang menanti kita di Bali (Surga). Tuhan telah memberi kita alat panduan, seperti GPS, yang dalam konteks ini adalah akal dan pikiran. Alat inilah yang seharusnya membantu kita agar tidak tersesat dalam perjalanan menuju tujuan akhir. Namun, ada orang-orang yang merasa bahwa bus mereka adalah satu-satunya yang benar. Mereka merendahkan dan menjelekkan penumpang bus lain. Sikap seperti ini saya analogikan seperti kelompok suporter sepak bola yang fanatik dengan klubnya. Apa bedanya? Sama saja! Wkwkwk. Dalam konteks sepak bola, mungkin sikap fanatik seperti itu bisa dipahami. Tapi ketika ini terjadi dalam ranah agama, sesuatu yang seharusnya lebih mulia, hal ini sangat tidak elok. Jika kita benar-benar menggunakan “GPS” (akal dan pikiran), kita akan mampu menilai apakah kru bus membawa kita ke tujuan yang benar atau malah sebaliknya. Seperti yang saya katakan di awal, meskipun kita menggunakan bus (agama) yang berbeda, tujuan kita tetap sama: Surga. Lalu, mengapa kita masih saling menghujat dan mencaci maki? Ada juga orang yang memutuskan untuk berpindah bus (berpindah agama) karena merasa tidak cocok dengan bus sebelumnya, mungkin AC-nya kurang dingin, atau kursinya tidak nyaman. Tapi mengapa kita mencaci mereka? Mengapa mereka dinilai sebagai hina, kafir, atau dianggap meninggalkan Tuhan? Padahal, mereka hanya pindah kendaraan. Bukankah tujuan akhirnya tetap sama? Jadi, marilah kita merenung. Semua agama itu benar, karena semua adalah jalan menuju Tuhan. Yang salah adalah cara sebagian orang menjalankan agama dengan sempit, egois, dan merendahkan yang lain. Mari kita beragama dengan sikap yang lebih bijak, saling menghormati, dan memahami.
Komentar
Posting Komentar